Salah Percaya

Aku terbiasa hidup dengan keras dan mandiri. Bagaimana tidak, orang tuaku menuntuku demikian. Mereka begitu berharap kepadaku karena mereka telah menginvestasikan banyak biaya terhadapku yang didapat dari hasil berhutang. Ya, keluarga kami memang bukan keluarga yang berada. Bahkan hanya untuk bersekolah tingkat menengah atas saja orang tuaku pontang panting untuk menyekolahkanku. Aku tidak boleh mengecewakan mereka.

Berpegang pada kondisiku dan juga pola hidup yang biasa diterapkan padaku, hal itu membentuk diriku yang begitu independen dan sulit untuk percaya dengan orang lain, apalagi jika mengingat pengalamanku saat masih SMP di mana semua orang berbondong-bondong ingin berteman denganku karena aku adalah juara parallel di sekolah. Setelah kebutuhan mereka terpenuhi untuk aku ajari pelajaran, mereka pun pergi seolah tidak mengenalku kembali. Ya hal-hal ini membuatku menjadi sosok yang keras kepala, sulit percaya pada orang, dan bersikap tidak peduli terhadap segala sesuatu diluar hal-hal yang aku percayai.

Namun pada saat SMU, diriku bertemu dengan seseorang yang sungguh membuatku bisa percaya padanya. Banyak sekali perspektif-perspektif baru yang mana hal-hal tersebut adalah kebenaran yang bisa dipertanggung jawabkan, dan orang ini benar-benar bisa menguasai topik-topik tersebut. Karena hal tersebut diriku akhirnya kagum padanya hingga akhirnya selalu berusaha untuk ikut semua kegiatan yang dia adakan pula. Aku bahkan berani menjamin bahwa dirikulah sosok yang paling loyal dalam membela pemikiran-pemikiran baru yang benar tersebut.

Sampai suatu ketika ada beberapa orang yang menunjukan beberapa kekurangan orang yang aku kagumi ini. Karena setiap orang akan selalu mempunyai haters, aku tetap loyal, karena memang sebenarnya orang-orang ini adalah orang-orang yang pada dasarnya sejak awal tidak suka dengan orang yang kukagumi ini.

Hari demi hari berlalu, ternyata pemikiran dari orang yang kukagumi ini semakin banyak diterima orang. Hatiku senang, karena bertambah banyak orang tersadar atas pemikiran yang benar ini. Kita yang sepakat sama-sama berjuang untuk ikut menyadarkan orang sebanyak-banyaknya. Sampai akhirnya orang yang kukagumi benar-benar sudah berada di puncak.

Selepas lulus sekolah aku langsung bekerja. Mau bagaimana lagi, kondisi keluarga menuntut demikian. Niatnya ingin bisa berjuang sepenuh tenaga menegakan pemikiran baru, tapi apa daya kondisi melarang hal tersebut. Namun tetap aku adalah orang paling loyal!

Akupun mulai beranjak dewasa, aku juga manusia yang membutuhkan cinta kasih juga. Kebetulan aku bertemu dengan orang yang bisa cocok denganku yang sama-sama percaya dengan orang yang ku kagumi. Hidupku menjadi lebih bahagia lagi sejak saat itu karena ditemani dengan kekasih dalam memperjuangkan pemikiran baru yang kami sama-sama percayai.

Namun pasanganku berbeda denganku, dia orang yang objektif, dia peka, dan dia kritis. Orang yang kusayang ini bisa melihat sesuatu yang tidak bisa orang banyak lihat. Dan seringkali ia membuat prediksi-prediksi yang di kemudian hari ternyata benar-benar terjadi.

Karena sifatnya tersebut, kitapun sering terlibat cekcok. Wajar, namanya juga manusia pasti pernah melakukan salah, baik aku ataupun kekasihku. Namun kami selalu berusaha untuk objektif, ya ajaran dari kekasihku juga sih. Kita selalu membiasakan diri untuk senantiasa objektif, jangan minta maaf apabila tidak salah, dan selalu harus bisa mempertanggung jawabkan setiap perilaku yang kami lakukan. Jika tidak bisa dipertanggung jawabkan, pasti akan selalu muncul cekcok di antara kami. Ya, hubungan kami memang unik. Di saat yang lain sibuk dengan mandi cinta, kita sibuk dengan diskusi kebenaran.

Sampai suatu saat seakan diberi buah simalakama. Kekasihku menemukan beberapa kejanggalan dari orang yang aku dan dia kagumi. Kembali pada sifat kami masing-masing, aku yang bersikap bodo amat dan sulit percaya tetap menganggap orang yang kupercayai ini tidak mungkin salah. Sedangkan kekasihku tetap juga dengan sifatnya sendiri yang hanya percaya pada fakta objektif dan kritis, tak peduli orangnya, asalkan salah akan dia nilai salah. Kecewanya diriku, kekasihku justru membeberkan banyak keburukan dari orang yang ku percayai. Tak terima, aku memilih berpisah dengan kekasihku, dan tetap mengikuti orang yang kupercayai.

Namun naas, aku baru sadar kekasihku benar pada saat aku melihat banyak orang sedang berendam dalam lahar. Aku sadar, waktuku untuk lebih peduli dengan kejanggalan telah terlambat.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tilik & Cream, Ulasan Dua Film Pendek Menarik Dalam Negeri dan Mancanegara

Komunis Bukanlah Sama Rata & Sama Rasa (Meluruskan Asumsi Tentang Komunis)

Sudut Pandang Objektif