Dampak Covid-19, Bahkan Mempengaruhi Hubungan Asmara

Covid-19 sudah begitu banyak mempengaruhi kehidupan bermasyarakat di Indonesia. Setelah delapan bulan eksis di Indonesia, hingga saat ini si virus masih betah untuk selalu menghinggapi warga-warga Indonesia dan belum ada tanda-tanda tren penurunan penularan.

Pandemi Covid-19 di Indonesia tentu sangat berpengaruh terhadap masyarakat di dalamnya. Pengaruh ini tidak hanya meliputi kalangan-kalangan tertentu saja, melainkan hampir seluruh lapisan masyarakat merasakan kerugian akibat pandemi ini.

Pedagang-pedagang besar seperti para pelaku usaha di Mall, pabrik-pabrik besar, dan produsen-produsen komoditas yang mampu menjangkau pasar besar dan keuntungan besar pula mendadak merasakan keuntungan yang merosot tajam bahkan rugi. Hal ini bisa dilihat dari tren nilai-nilai saham setiap perusahaan besar tersebut yang sempat terjun bebas meskipun pada akhirnya kembali naik.

Tidak hanya terjadi pada pedagang-pedagang besar, pedagang-pedagang kecil seperti kaki lima dan pedagang di pasar-pasar kaget pun sangat terdampak. Salah satu yang benar-benar merasakan dampak buruknya adalah keluarga penulis.

Sejak beberapa tahun belakangan, sebenarnya bisnis yang dilakoni oleh Bapak penulis mengalami kebangkrutan. Akhirnya, apapun dilakukan oleh keluarga penulis untuk bisa sekedar mendapatkan uang untuk makan dan menyambung hidup. Bapak penulis pergi ke Jakarta untuk mencari peluang-peluang kerja lagi, sedangkan Ibu penulis tadinya hanya tetap melakoni usaha salonnya dari rumah dari yang semula mempunyai tempat sendiri.

Karena ternyata justru lebih sulit mendapatkan pelanggan, akhirnya Ibu dari penulis sendiri rela untuk ikut berjualan pecel dan gorengan di pasar dadakan. Siapa sangka, alhamdulillah hasilnya lumayan dan bisa digunakan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dapur, karena di saat yang sama penghasilan dari Bapak penulis sendiri sedang tidak ada sama sekali untuk beberapa bulan.

Ketika sudah mulai nyaman berjualan dan sudah mulai tidak gengsi, kenyataan berkata lain. Covid-19 yang sebenarnya sudah mulai ramai diperbincangkan sejak januari dan sudah mulai menyebar ke berbagai negara, akhirnya sampai juga di Indonesia karena pemerintah yang longgar dalam hal protokol dan menganggap remeh virus ini dengan alibi orang Indonesia kebal dengan virus ini.

Sejak saat itu, setiap kali Ibu penulis berusaha berjualan selalu diusir oleh Satpol PP. Bahkan dagangannya pernah dibongkar paksa dan juga pernah disiram air oleh air pemada agar para pedagang di situ bubar.

Sebenarnya, saat itu penulis mewajari hal-hal tersebut meskipun Ibu penulis sampai menangis. Hal ini penulis wajari karena penulis menilai apa yang dilakukan Satpol PP adalah bagian aksi represif dari rencana pemerintah agar virus Covid-19 di Indonesia tidak begitu menyebar. Di saat yang sama, penulis juga begitu rajin membuat narasi-narasi di IG Story dan juga WA Story tentang rekomendasi kebijakan yang menurut penulis sebaiknya pemerintah lakukan.

Saat itu penulis begitu gencar membuat narasi-narasi mengenai lebih baik pemerintah melakukan lockdown wilayah. Karena saat itu kasus masih baru hanya terjadi di DKI Jakarta dan Jawa Barat. Maka saat itu penulis berpikir bahwa akan lebih baik untuk melakukan lockdown di dua provinsi tersebut hingga kasus benar-benar bersih dan tidak ada penderita lagi. Dengan begitu kasus bersih di Indonesia akan lebih cepat. Bahkan penulis hingga berani mendebat teman-teman yang justru mendukung wacana pemerintah mengenai opsi melakukan PSBB, yang menurut penulis hal tersebut tidak solutif sama sekali.

Karena penulis dibekali ilmu dasar ekonomi semasa pekuliahan, akhirnya kritik-kritik yang penulis sampaikan kepada teman penulis dan juga narasi-narasi di WA story semuanya berdasarkan dampak ekonomi terhadap masyarakat. Penulis fokusi dalam bidang ekonomi ini sebagai anti tesa terhadap wacana pemerintah yang hendak melakukan PSBB dengan dasar alibi untuk menjaga ekonomi.

Saat itu penulis memberikan kritikan-kritikan berupa dampak ekonomi yang justru sangat buruk dan lebih buruk daripada melakukan lockdown apabila pemerintah justru menerapkan PSBB. Saat itu penulis mengatakan bahwa dampak PSBB akan multisectoral. Mulai dari kepercayaan investor yang menurun yang nantinya pasti berdampak terhadap aktifitas produksi perusahaan-perusahaan besar yang akhirnya menghasilkan banyak pemecatan apabila investor banyak mencabut sahamnya dari perusahaan tersebut. Juga dengan dampak ekonomi masyarakat kelas bawah, di mana akan banyak masyarakat yang tidak bisa makan karena mereka sendiri tidak bisa berjualan dengan bebas yang disebabkan adanya PSBB. Dan juga kasus positif yang tidak akan cepat menurun dan akan berdampak terhadap ekonomi yang buruk hingga 1-2 tahun setelahnya. Dan berbagai macam pertimbangan-pertimbangan lain mengenai dampak buruk apabila pemerintah setengah-setengah dan tidak mau menerapkan lockdown.

Ketika menyampaikan pendapat penulis tersebut, teman penulis memberikan tanggapan berupa sanggahan. Ia menilai bahwa Indonesia tidak akan sanggup untuk melakukan lockdown, dikarenakan dana pemerintah terbatas. Dengan santai penulis menyampaikan hitung-hitungannya yang secara realistis sangat bisa dipenuhi oleh pemerintah. Namun tidak bisa penulis tuliskan rinciannya disini karena terlalu panjang. Yang intinya penulis menemukan jumlah tanggungan sebesar 85 Triliun untuk biaya tanggungan di Jawa Barat, dan 20 Triliun untuk biaya tanggungan di DKI Jakrta. Dari total APBN pemerintah sebesar 2.540 Triliun di tahun 2020.

Setelahnya penulis tetap mendapatkan debatan berupa pemberian contoh Wuhan yang tetap gagal meskipun sudah melakukan lockdown dan berbagai negara lain yang juga gagal. Disini penulis mendebat lagi berupa statement bahwa agar aktifitas ekonomi domestik tidak terganggu, pemerintah perlu menutup sama sekali Indonesia dari kunjungan orang luar, agar masyarakat tetap bisa mandiri dengan aktifitas ekonominya sendiri. Sedangkan wilayah yang tetap harus ditanggung adalah Jawa Barat dan DKI Jakarta saja. Itupun hanya tiga bulan, setelahnya bisa langsung dilepas seperti semula.

Namun penulis tetap mendapatkan balasan berupa statement bahwa Indonesia juga mempunyai program-program lain yang tetap harus berjalan, dan jika difokuskan untuk lockdown, biaya tersebut tidak bisa digunakan untuk program yang sudah direncanakan. Sebenarnya jika argumennya ini, hal yang sama tetap akan terjadi jika pemerintah melakukan PSBB karena faktanya banyak sekarang masyarakat yang jatuh miskin karena PSBB dan butuh bantuan sosial dari pemerintah. Dan dari setiap prediksi yang penulis buat termasuk di luar yang sudah penulis tuliskan, ternyata betul-betul kejadian saat ini.

Dan karena hal itu, akhirnya penulis mulai geram dengan pemerintah. Salah satu yang membuat penulis geram adalah aksi pemerintah yang justru memborong rapid test, padahal oleh para ahli sudah dikatakan bahwa tenaga medis tidak membutuhkan hal tersebut. Namun karena sudah terlanjur, akhirnya pemerintah menyuruh masyarakat untuk banyak melakukan rapid test agar pemerintah tidak rugi.

Salah satu yang menyuarakan untuk tidak melakukan rapid test adalah Jerinx SID. Dia mengatakan bahwa rapid test akurasinya sangat rendah, di lain sisi justru menimbulkan korban Ibu hamil. Dan setelah beberapa kali melakukan penyuaraan mengenai hal tersebut, Jerinx akhirnya mengungkapkan kata-kata “Kacung WHO” terhadap IDI, yang akhirnya diperkarakan oleh IDI Bali.

Di sini penulis melihat sebuah keanehan. Keanehan yang penulis tangkap adalah sebenarnya apa yang dilakukan Jerinx tidak terlalu berpengaruh terhadap persepsi masyarakat dan juga kinerja dari para dokter itu sendiri. Bahkan seharusnya para tenaga medis masih harus terlalu seibuk mengurusi para pasien di tengah kondisi pandemi seperti ini. Terlebih, anggota IDI adalah para dokter yang notabene orang-orang terdidik, terpelajar, dan sangat sadar akan prioritas kewajiban. Seharusnya para dokter ini tidak akan dengan mudah terganggu dan menganggap penting kata-kata yang dilontarkan oleh Jerinx.

Keanehan-keanehan yang penulis tangkap juga didukung oleh ungkapan-ungkapan dr.Tirta yang justru malah membela Jerinx dari yang sebelumnya sering berseteru. Dari sini membuat penulis yakin untuk membuat narasi mengenai Jerinx.

Namun penulis sadar bahwa membahas hal-hal seperti ini sangat rawan, salah-salah penulis bisa merasakan hal yang sama seperti yang terjadi pada Bintang Emon. Maka dari itu penulis mencoba untuk membungkusnya dengan berbagai fenomena lain seperti Among Us dan sebagian lagi dengan kehidupan yang dekat dengan penulis, agar tidak menimbulkan pergolakan dan orang-orang tertentu saja yang paham. Sehingga pemerintah tidak akan bisa memperkarakan hal tersebut, karena memang yang akan paham hanya beberapa orang.

Namun, ternyata hasil dari tulisan penulis tersebut justru menghasilkan salah paham yang lain, yang akhirnya membuat penulis bermasalah dengan beberapa orang yang termasuk dengan kekasih penulis sendiri. Karena kesalahpahaman tersebut, akhirnya membuat hubungan penulis dengan kekasih penulis kini kandas, yang alhamdulillah sangat membuat penulis terpukul hingga membutuhkan pertolongan dari psikolog.

Terimakasih Covid-19 atas penderitaan yang telah kau berikan :)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tilik & Cream, Ulasan Dua Film Pendek Menarik Dalam Negeri dan Mancanegara

Komunis Bukanlah Sama Rata & Sama Rasa (Meluruskan Asumsi Tentang Komunis)

Sudut Pandang Objektif