Sistem Ekonomi Indonesia Harus Dievaluasi? : Ekonomi Indonesia sudah buruk sebelum pandemi (part 1)


Pagi ini, penulis menemukan sebuah postingan Instagram yang dikeluarkan oleh akun pinterpolitik. Dalam postingan tersebut mengutip kata-kata dari Rizal Ramli selaku mantan Menko Kemaritiman yang memberikan kritik pada pemerintah terkait dengan kondisi ekonomi terkini.

Beberapa poin kritik yang dilontarkan oleh Rizal Ramli adalah sebagai berikut :
1. Ekonomi Indonesia sudah buruk sebelum pandemi
2. Menkeu berutang dengan bunga yang tinggi
3. Birokrat korup persulit perizinan usaha
4. Seharusnya gunakan system ekonomi Pancasila dan UUD 45
5. Sebut system ekonomi UUD 45 seperti model ekonomi Skandinavia

Dan beliau mempunyai pandangan-pandangan tertentu terhadap pemerintah, yakni sebagai berikut :
1. Lebih condong menerapkan trickle down effect
2. Porsi besar pada BUMN, kemungkinan terapkan state capitalism
3. Serap tenaga kerja 70%, UMKM seharusnya diprioritaskan

Maka dari itu, penulis akan mencoba membahas beberapa point ini, tentunya sebatas kapasitas yang penulis mampu. Maka, apabila ditemukan kesalahan-kesalahan, mohon bantu untuk dikoreksi.

1. Ekonomi Indonesia sudah buruk sebelum pandemi
Memang, pada faktanya ekonomi Indonesia sudah mulai memburuk sebelum pandemi terjadi. Namun perlu dilihat juga fakta-fakta yang melingkupinya serta konteks-konteks yang berbarengan.

Sebelumnya, Indonesia memang mengalami pemburukan dalam hal ekonomi. Yakni dalam hal kurs rupiah yang memburuk dan juga pertumbuhan ekonomi yang melamban. Namun perlu dipahami penyebabnya.

Saat itu yang mengalami kondisi serupa bukan hanya Indonesia, melainkan seluruh negara juga terdampak. Hal yang paling mempunyai andil besar dalam kondisi ini adalah perang dagang yang dilakukan oleh Amerika Serikat dengan China.

Kan yang berperang Amerika dengan China, lalu apa hubungannya dengan Indonesia?
Ya, memang yang berperang dagang adalah Amerika dengan China. Namun, yang terkena dampak adalah semua negara yang juga melakukan perdagangan dengan kedua negara tersebut. Untuk memahami hal ini, kita perlu memahami terlebih dahulu realitas perang dagang yang terjadi antara Amerika dengan China.

Perang dagang yang dimaksud adalah kebijakan-kebijakan yang dilakukan oleh masing-masing negara, agar negara musuhnya tidak bisa berdagang dengan mudah dan mendapatkan untung besar dari negaranya. Informasi yang paling umum diketahui orang mengenai awal mulanya hal ini terjadi adalah ketika Donald Trump merealisasikan program-programnya dengan jargon “Let’s make America great again!”. Alhasil, pemerintahan Donald Trump lebih mengutamakan produk-produk yang beredar di Amerika adalah produk-produk yang dibuat oleh warga Amerika sendiri, sedangkan untuk produk-produk yang di impor dari luar Amerika dipersulit, terutama yang dari China.

Bagaimana caranya? Caranya adalah dengan menetapkan pajak yang sangat tinggi untuk produk-produk yang diimpor dari China. Alhasil memang masih ada komoditas-komoditas China yang masih bisa masuk ke Amerika, namun sangat sedikit! Hal ini membuat China sangat membatasi produksi produk-produk yang tadinya memang hendak diimpor ke AS, bahkan beberapa di antaranya mungkin juga dihentikan.

Hal sebaliknya juga berlaku untuk Amerika Serikat. China juga banyak membatasi produk-produk yang masuk dari Amerika serikat. Alhasil kegiatan produksi yang berjalan di Amerika untuk diimpor ke China pun juga mengalami kemunduran, sama halnya dengan yang terjadi di China.

Lalu apa hubungannya dengan Indonesia? Di sini kita perlu memahami posisi negara kita dalam aktifitas ekonomi dunia. Indonesia, sudah sejak lama berperan sebagai pelaku ekspor bahan-bahan mentah untuk negara-negara industri yang melakukan produksi barang mentah menjadi setengah jadi atau barang jadi. Amerika dan China adalah kedua negara yang juga sangat mengandalkan bahan-bahan baku mentah dari Indonesia.

Fun Fact. Bahkan negara sekaliber Amerika Serikat, neraca perdagangannya dengan Indonesia justru negatif. Hal ini jugalah yang membuat Donald Trump menaikan status Indonesia menjadi Negara Maju. Bukan bermaksud memberikan apresiasi terhadap Indonesia, hal ini justru dilakukan untuk membuat Indonesia tidak memiliki hak-hak istimewa lagi dengan Amerika Serikat terkait perdagangan. Tujuan utamanya justru untuk membuat neraca perdagangan Amerika Serikat dengan Indonesia tidak defisit lagi.

(lanjut part 2)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tilik & Cream, Ulasan Dua Film Pendek Menarik Dalam Negeri dan Mancanegara

Komunis Bukanlah Sama Rata & Sama Rasa (Meluruskan Asumsi Tentang Komunis)

Sudut Pandang Objektif