Omnibus Law, sumber kerusuhan yang berbahaya (part 3)
Tanggapan terhadap sikap masyarakat
Sikap masyarakat dalam meresponse RUU cipta kerja ini beragam. Penulis akan mencoba membahas dan memberikan pandangan penulis terhadap berbagai respon tersebut.
1. Response berlebihan terhadap informasi yang belum jelas
Seperti yang sudah penulis sebutkan di part 1, sampai saat ini penulis belum bisa menemui draft asli dari RUU cipta kerja yang bisa masyarakat umum baca. Jangankan masyarakat umum, anggota baleg saja seperti yang disebutkan oleh salah satu anggota partai PKS di acara TV Mata Najwa, ia pun belum menerima Salinan dari draft RUU cipta kerja ini.
Meskipun belum pernah membaca draftnya secara langsung, namun banyak masyarakat yang langsung terprovokasi oleh berbagai ulasan dari sumber-sumber pihak ke-tiga yang sebenarnya informasinya pun belum valid. Sejauh penulis membaca mengenai ulasan RUU cipta kerja, sumber-sumber tersebut tidak pernah mengutip langsung bunyi dari ayat UU yang sedang mereka permasalahkan.
Melihat hal ini, tentu menjadi masalah. Penulis berani menyebut ini masalah karena bila masyarakat berpegang pada informasi yang belum jelas asal usul dan ke-validan datanya, apa bukan sama dengan masyarakat berpegangan pada hoax? Perlu diketahui juga, sudah banyak berbagai peradaban yang berhasil diruntuhkan oleh masyarakat yang mudah terperdaya oleh serangan-serangan hoax.
2. Mudah disulut oleh framing pemegang kepentingan lain
Hal ini yang menurut penulis juga cukup rentan dari masyarakat Indonesia. Masyarakat Indonesia terlalu mudah digiring pandangannya bila ada satu pihak yang menempatkan diri sebagai teman masyarakat. Padahal, belum tentu juga pihak-pihak yang menempatkan diri seolah sebagai ‘teman’ ini adalah pihak yang benar-benar membela kepentingan-kepentingan masyarakat Indonesia.
Di tengah kondisi seperti ini, penulis melihat beberapa partai membuat disclaimer berupa baligo besar, postingan media sosial yang cukup gencar, dan juga ungkapan-ungkapan para pentolan partainya di media massa. Tentu semua hal tadi merupakan upaya untuk mengumpulkan suara masyarakat berkumpul pada mereka. Tentunya tidak ada yang salah bila partai berusaha mengumpulkan suara masyarakat pada mereka selama mereka memang sebenar-benarnya membela kepentingan rakyat. Namun hal ini akan menjadi masalah apabila para elit politik di tokoh bersebrangan ini hanya memanfaatkan kemarahan masyarakat sebagai sarana untuk menunjang popularitas partai.
Banyak sekali fenomena yang penulis temui di Instagram, twitter, tiktok. Dimana banyak orang yang membuat konten di platform-platform tersebut yang juga ikut memberikan framing tokoh-tokoh partai (yang paling sering Demokrat), bahwa tokoh-tokohnya benar-benar hidup mati membela kepentingan rakyat, bahkan sampai rela membela di depan rapat paripurna hingga microphonenya dimatikan.
Padahal setelah penulis lihat fakta pembanding secara utuhnya, partai yang diframing oleh masyarakat di platform media sosial tersebut, sebenarnya sudah seringkali diberikan kesempatan untuk menyampaikan point-point keberatannya. Namun dari yang penulis temui, tokoh-tokoh tersebut hanya menyampaikan keberatan kosong tanpa menyebutkan jelas UU mana saja yang berpotensi merugikan masyarakat.
Untuk mendukung pernyataan penulis tersebut, para pembaca bisa membuktikannya sendiri dengan melihat video https://youtu.be/ffuYKBY7Bv8 dan bisa melihat menit 1:23:36 – 1:31:10. Di rentang menit itu, para pembaca bisa melihat bagaimana sebenarnya para pihak yang menolak sudah diberikan kesempatan untuk menyampaikan point-point mana saja yang ditolak, namun yang disampaikan oleh para tokoh tersebut hanya menyampaikan mereka menolak karena merugikan masyarakat, merusak alam, menghilangkan hak para pekerja, yang mana keberatan mereka itu tidak didasarkan pada apapun.
3. Mudah ikut-ikutan
Banyak sekali masyarakat yang hanya ikut kesal dengan RUU ini tanpa tahu apa yang mereka sebenarnya kesalkan. Kekesalan mereka biasanya sangat bersifat subjektif, yakni biasanya hanya karena yang meresmikan adalah anggota DPR yang sudah identik dengan korupsi, atau juga faktor subjektif lain yakni karena selama mereka hidup, mereka merasakan kesulitan, jadi mereka memerlukan pihak yang bisa disalahkan yakni DPR dan pemerintah.
Bentuk ikut-ikutan bisa para pembaca buktikan sendiri dengan mempertanyakan motivasi para pengikut demo. Mulai dari yang anak SMK/SMA hingga mahasiswa. Coba pertanyakan point-point RUU apa saja yang mereka tolak, minta juga pertanggung jawaban secara ilmiah dan akademis kenapa mereka menolak hal tersebut. Penulis berani jamin, hanya ada segelintir orang yang bisa menjawab itu, sedangkan yang lainnya tidak mengetahui kenapa mereka menolak RUU cipta kerja.
4. Bersifat anarkis
Dampak buruk lain dari aksi demonstrasi ini adalah kerugian ekonomi yang sungguh sangat dirasakan oleh masyarakat di sekitar aksi demo. Selain karena banyak fasilitas-faslitias umum, yang tentu merugikan masyarakat luas, aksi mereka juga tidak terkodinir dengan baik dan membuat jalan-jalan banyak yang tertutup.
Perlu diketahui, kerugikan ekonomi yang dirasakan Jakarta akibat kemacetan bisa mencapai angka miliaran rupiah per hari. Bayangkan dengan ditambah kemacetan dari aksi demo yang tidak terstruktur dan anarkis, tentu akan lebih banyak kerugian lagi bukan?
1. Response berlebihan terhadap informasi yang belum jelas
Seperti yang sudah penulis sebutkan di part 1, sampai saat ini penulis belum bisa menemui draft asli dari RUU cipta kerja yang bisa masyarakat umum baca. Jangankan masyarakat umum, anggota baleg saja seperti yang disebutkan oleh salah satu anggota partai PKS di acara TV Mata Najwa, ia pun belum menerima Salinan dari draft RUU cipta kerja ini.
Meskipun belum pernah membaca draftnya secara langsung, namun banyak masyarakat yang langsung terprovokasi oleh berbagai ulasan dari sumber-sumber pihak ke-tiga yang sebenarnya informasinya pun belum valid. Sejauh penulis membaca mengenai ulasan RUU cipta kerja, sumber-sumber tersebut tidak pernah mengutip langsung bunyi dari ayat UU yang sedang mereka permasalahkan.
Melihat hal ini, tentu menjadi masalah. Penulis berani menyebut ini masalah karena bila masyarakat berpegang pada informasi yang belum jelas asal usul dan ke-validan datanya, apa bukan sama dengan masyarakat berpegangan pada hoax? Perlu diketahui juga, sudah banyak berbagai peradaban yang berhasil diruntuhkan oleh masyarakat yang mudah terperdaya oleh serangan-serangan hoax.
2. Mudah disulut oleh framing pemegang kepentingan lain
Hal ini yang menurut penulis juga cukup rentan dari masyarakat Indonesia. Masyarakat Indonesia terlalu mudah digiring pandangannya bila ada satu pihak yang menempatkan diri sebagai teman masyarakat. Padahal, belum tentu juga pihak-pihak yang menempatkan diri seolah sebagai ‘teman’ ini adalah pihak yang benar-benar membela kepentingan-kepentingan masyarakat Indonesia.
Di tengah kondisi seperti ini, penulis melihat beberapa partai membuat disclaimer berupa baligo besar, postingan media sosial yang cukup gencar, dan juga ungkapan-ungkapan para pentolan partainya di media massa. Tentu semua hal tadi merupakan upaya untuk mengumpulkan suara masyarakat berkumpul pada mereka. Tentunya tidak ada yang salah bila partai berusaha mengumpulkan suara masyarakat pada mereka selama mereka memang sebenar-benarnya membela kepentingan rakyat. Namun hal ini akan menjadi masalah apabila para elit politik di tokoh bersebrangan ini hanya memanfaatkan kemarahan masyarakat sebagai sarana untuk menunjang popularitas partai.
Banyak sekali fenomena yang penulis temui di Instagram, twitter, tiktok. Dimana banyak orang yang membuat konten di platform-platform tersebut yang juga ikut memberikan framing tokoh-tokoh partai (yang paling sering Demokrat), bahwa tokoh-tokohnya benar-benar hidup mati membela kepentingan rakyat, bahkan sampai rela membela di depan rapat paripurna hingga microphonenya dimatikan.
Padahal setelah penulis lihat fakta pembanding secara utuhnya, partai yang diframing oleh masyarakat di platform media sosial tersebut, sebenarnya sudah seringkali diberikan kesempatan untuk menyampaikan point-point keberatannya. Namun dari yang penulis temui, tokoh-tokoh tersebut hanya menyampaikan keberatan kosong tanpa menyebutkan jelas UU mana saja yang berpotensi merugikan masyarakat.
Untuk mendukung pernyataan penulis tersebut, para pembaca bisa membuktikannya sendiri dengan melihat video https://youtu.be/ffuYKBY7Bv8 dan bisa melihat menit 1:23:36 – 1:31:10. Di rentang menit itu, para pembaca bisa melihat bagaimana sebenarnya para pihak yang menolak sudah diberikan kesempatan untuk menyampaikan point-point mana saja yang ditolak, namun yang disampaikan oleh para tokoh tersebut hanya menyampaikan mereka menolak karena merugikan masyarakat, merusak alam, menghilangkan hak para pekerja, yang mana keberatan mereka itu tidak didasarkan pada apapun.
3. Mudah ikut-ikutan
Banyak sekali masyarakat yang hanya ikut kesal dengan RUU ini tanpa tahu apa yang mereka sebenarnya kesalkan. Kekesalan mereka biasanya sangat bersifat subjektif, yakni biasanya hanya karena yang meresmikan adalah anggota DPR yang sudah identik dengan korupsi, atau juga faktor subjektif lain yakni karena selama mereka hidup, mereka merasakan kesulitan, jadi mereka memerlukan pihak yang bisa disalahkan yakni DPR dan pemerintah.
Bentuk ikut-ikutan bisa para pembaca buktikan sendiri dengan mempertanyakan motivasi para pengikut demo. Mulai dari yang anak SMK/SMA hingga mahasiswa. Coba pertanyakan point-point RUU apa saja yang mereka tolak, minta juga pertanggung jawaban secara ilmiah dan akademis kenapa mereka menolak hal tersebut. Penulis berani jamin, hanya ada segelintir orang yang bisa menjawab itu, sedangkan yang lainnya tidak mengetahui kenapa mereka menolak RUU cipta kerja.
4. Bersifat anarkis
Dampak buruk lain dari aksi demonstrasi ini adalah kerugian ekonomi yang sungguh sangat dirasakan oleh masyarakat di sekitar aksi demo. Selain karena banyak fasilitas-faslitias umum, yang tentu merugikan masyarakat luas, aksi mereka juga tidak terkodinir dengan baik dan membuat jalan-jalan banyak yang tertutup.
Perlu diketahui, kerugikan ekonomi yang dirasakan Jakarta akibat kemacetan bisa mencapai angka miliaran rupiah per hari. Bayangkan dengan ditambah kemacetan dari aksi demo yang tidak terstruktur dan anarkis, tentu akan lebih banyak kerugian lagi bukan?
Komentar
Posting Komentar