Omnibus Law, sumber kerusuhan yang berbahaya (Part 2)

Kejanggalan dari RUU cipta kerja
Meskipun penulis tidak bisa berkomentar banyak tentang isi substansi dari RUU cipta kerja karena belum pernah membaca langsung isi draftnya dan justru membela beberapa point yang oleh beberapa pihak ke-tiga permasalahkan, namun penulis juga tetap bisa menemukan beberapa hal yang janggal dari RUU ini. Kejanggalan yang dimaksud adalah dari proses pembuatan RUU cipta kerja ini.

Seperti yang penulis katakan sebelumnya, bahwa kejanggalan dalam RUU cipta kerja yang penulis soroti justru ada di prosesnya. Berikut beberapa kejanggalan yang menurut penulis perlu dipertanyakan dan diawasi oleh masyarakat :

1. Prioritas focus UU
Di tengah pandemi ini, masyarakat sedang berada pada posisi yang serba mencekik. Masyarakat sedang berada dalam kesulitan karena lingkungan yang memaksa masyarakat untuk tidak bisa menentukan sikap dengan pasti. Hal ini terjadi tiada lain karena efek dari Covid-19 yang mana membuat banyak orang takut untuk keluar rumah dan banyak berinteraksi dengan orang lain, yang pastinya juga menurunkan kegiatan ekonomi.

Hal ini membuat banyak pekerja yang dirumahkan, karena pada awal pandemi menjaga jarak menjadi hal yang sangat dijaga oleh banyak orang. Namun karena kebijakan pemerintah yang tidak mau menutup total seluruh kegiatan warga dan tidak mau menanggung biaya hidup masyarakat di dua provinsi awal pusat persebaran (Jawa Barat dan DKI), akhirnya justru membuat penularan Covid-19 terus merebak ke seluruh Indonesia dan membuat penyebaran sama sekali tidak bisa diturunkan.

Hal ini membuat lebih banyak lagi perusahan yang mengurangi pegawai-pegawainya. Bukan hanya karena alasan menjaga jarak, melainkan juga karena alasan efisiensi untuk mengurangi pengeluaran biaya produksi suatu perusahaan.

Selain pekerja dan perusahaan besar, UMKM juga salah satu pihak yang paling terdampak oleh situasi ini. UMKM yang bergantung pada konsumsi masyarakat menengah hingga bawah justru sangat terpukul dan sangat kehilangan konsumen. Hal ini dikarenakan konsumen yang berasal dari kalangan menengah bawah justru sama sekali tidak mempunyai sumber daya untuk belanja, sehingga membuat UMKM juga tidak memiliki modal yang cukup untuk diputar kembali, dan akhirnya banyak pula usaha UMKM yang bangkrut.

Di tengah kondisi kesulitan masyarakat yang tidak lain juga dikaranakan lambannya langkah pencegahan dan penanggulangan pemerintah terhadap Covid-19 yang semula dianggap bisa sembuh dengan meminum ramuwan jamu. Hal ini sekali lagi membuat banyak masyarakat jatuh ke jurang kemiskinan. Maka seharusnya pemerintah lebih focus terhadap penanggulangan kemiskinan secara langsung dan juga upaya untuk mengurangi tingkat penularan!

2. Alasan untuk mempermudah UMKM di tengah pandemi
Terlepas dari bunyi UU yang dibahas dalam RUU cipta kerja (yang mana juga tidak bisa penulis komentari karena belum mengetahui bunyinya), tapi tetap terdapat beberapa kejanggalan dalam tendensi pemerintah segera melegalkan RUU ini. Selain karena kesalahan focus, kejanggalan juga terjadi pada setiap alasan yang dibuat untuk meresmikan RUU ini.

Salah satu yang kerap penulis dengar adalah alasan untuk mempermudah UMKM. Tunggu dulu, sebelum alasan itu terdengar, seharusnya pemerintah berkaca terhadap setiap bantuan yang mereka gelontorkan. Mulai dari bantuan 4 juta rupiah terhadap UMKM, bantuan kartu pra kerja, dan bantuan-bantuan lainnya.

Pertanyaan mendasar terhadap semua program bantuan masyarakat itu adalah, “apakah bantuan-bantuan tersebut sudah 100% tepat sasaran?”. Fakta di lapangan yang penulis temui justru jauh dari tepat sasaran. Untuk bantuan UMKM, begitu banyak penulis temui masyarakat yang tidak mempunyai usaha justru mendapatkan bantuan tersebut. Selain itu juga, untuk bantuan kartu pra kerja, penulis justru banyak menemui justru mahasiswa dan juga PNS yang malah mendapatkan akses ke kartu pra kerja tersebut! Bagaimana UMKM bisa tertolong dengan RUU cipta kerja ini bila pelaku UMKM tidak memiliki modal karena sibuk bertahan hidup? Jangankan bertahan hidup, bahkan banyak UMKM yang sudah mati karena kelambanan pemerintah! Seharusnya pemerintah lebih concern terhadap hal itu terlebih dahulu daripada meributkan RUU cipta kerja.

3. Waktu peresmian RUU
Patut dipertanyakan, usaha melakukan peresmian RUU ini justru dilakukan di tengah pandemi yang mana masyarakat sedang ketakutan dan sudah mulai sadar untuk tidak melakukan kerumunan. Hal yang aneh, ketika kondisi seharusnya masyarakat sedang tidak bisa berbuat banyak untuk berbuat dan turun ke lapangan, kenapa malah pemerintah meresmikan RUU yang sungguh masih menjadi perdebatan dan banyak ditentang masyarakat? Mana andil masyarakat disini?

4. Pengakuan sudah melalui prosedur yang legal

Beberapa syarat yang harus ditempuh DPR untuk bisa meresmikan RUU adalah dengan membuat naskah akademik yang berisi tentang pertanggung jawaban perumusan UU, melakukan survey ke masyarakat dan melihat respon masyarakat atas naskah akademis tersebut, dan juga membuat draft RUU apabila naska tersebut mendapatkan respon positif dari masyarakat.

Melihat syarat tersebut, ada dampak logis yang mutlak harus terjadi, yakni dukungan masyarakat untuk segera meresmikan RUU tersebut. Namun hal yang terjadi justru sebaliknya, masyarakat banyak menentang RUU tersebut, maka patut menjadi pertanyaan, apakah benar DPR sudah melewati mekanisme yang seharusnya untuk meresmikan RUU ini? Sebaliknya, yang masyarakat desak untuk segera diresmikan yakni RUU PKS justru tidak pernah terdengar nasib baiknya hingga saat ini.

(bersambung part 3)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tilik & Cream, Ulasan Dua Film Pendek Menarik Dalam Negeri dan Mancanegara

Komunis Bukanlah Sama Rata & Sama Rasa (Meluruskan Asumsi Tentang Komunis)

Sudut Pandang Objektif