Omnibus Law, sumber kerusuhan yang berbahaya!


Sejak berita mengenai Omnibus Law yang membahas mengenai undang-undang cipta kerja di Indonesia banyak tersiar di media masa, Indonesia seolah kembali dibawa ke kondisi yang cukup mengkhawatirkan. Bagaimana tidak, bukan hanya karena efek yang ditakutkan apabila undang-undang ini efektif menjadi undang-undang, efek yang lebih menakutkan adalah efek sosialnya.

Melihat RUU ini sudah disetujui di tingkat DPR dan tinggal menunggu tanda tangan persetujuan pemerintah, masyarakat seakan murka dengan RUU yang seolah tiba-tiba disahkan tersebut. Untuk mengungkapkan kekecewaannya banyak masyarakat yang akhirnya mengunggah berbagai kritikan ke DPR dan juga pemerintah melalui media sosial. Bahkan sejak dua hari lalu, sudah banyak aksi-aksi demonstrasi yang dilakukan oleh masyarakat dan tidak sedikit pula yang berakhir anarkis.

Selain itu, terdapat juga narasi-narasi yang mengatakan adanya bentuk anti kritik dan anti menerima masukan dari DPR ketika ada salah satu fraksi yang menyuarakan bentuk ketidak setujuannya dengan DPR, dan hal itu mendapatkan banyak hujatan dari masyarakat. Sebaliknya, untuk fraksi yang dianggap berada pada sisi yang sama, banyak masyarakat yang mengucapkan terimakasih terhadapnya.

Namun, apa benar sikap-sikap yang sudah ditunjukan masyarakat terhadap kebijakan-kebijakan yang sudah diambil oleh pemerintah ini? Apa benar juga pihak-pihak yang dianggap satu sisi dengan masyarakat ini benar-benar sejalan dan tulus membela aspirasi rakyat? Untuk hal ini, penulis mempunyai pendapat sendiri.

Untuk menjawab hal-hal ini, penulis akan membuat beberapa part tulisan, yakni :
Part 1 : tanggapan terhadap isi dari RUU cipta kerja
Part 2 : kejanggalan dari RUU cipta kerja
Part 3 : tanggapan terhadap sikap masyarakat terhadap kondisi yang melingkupi RUU cipta kerja

Tanggapan terhadap isi dari RUU Cipta Kerja
Untuk tanggapan terhadap isi dari RUU cipta kerja ini sendiri, jujur penulis belum pernah membaca langsung isi draft dari RUU cipta kerja, sehingga penulis tidak bisa menilai secara objektif isi dari RUU cipta kerja ini. Yang bisa penulis dapatkan hanyalah beberapa point kesimpulan yang sudah dirangkum oleh pihak ke-tiga. Tentu saja, bila hanya berpegang kepada kesimpulan yang sudah dibuat oleh pihak ke-tiga (apalagi jika bukan media yang krdibel), pasti akurasi kebenaran datanya pun patut dipertanyakan.

Namun bila tetap harus melihat dari kesimpulan yang dibuat oleh pihak ke-tiga, memang penulis dapat menemukan beberapa hal yang penulis sepakati dan juga beberapa hal yang justru tidak penulis sepakati. Beberapa hal yang akan penulis bahas hanya empat point, yakni bisa membuka lahan seenaknya, hilangnya hak cuti, pengurangan pesangon dari 32x gaji menjadi 25x gaji, dan pengubahan UMR/UMK menjadi UMP.

1. Membuka lahan seenaknya
Untuk hal ini, tentu penulis sepakat dengan apa yang disampaikan oleh banyak pihak bahwa dampak kerusakan lingkungan akan tinggi. Mengingat sebelum adanya undang-undang ini saja banyak lahan yang secara ghoib bisa tiba-tiba terbakar dan tidak bisa diketahui siapa dalang pembakarnya dan tiba-tiba sudah menjadi hutan kelapa sawit.

Hal ini tentu merusak lingkungan, karena sifat dari pohon kelapa sawit berbeda dengan pohon biasa. Pohon kelapa sawit sangat rakus terhadap air, namun tidak bisa menampung air dengan jangka waktu yang lama. Sehingga membuat tanah mudah kering, namun ketika musim hujan, dia tidak bisa menjadi sumber resapan air karena daya tampungnya kecil. Hal ini jelas merusak lingkungan bila dalam skala yang berlebihan.

2. Hilangnya berbagai macam hak cuti
Dengan hilangnya berbagai macam hak cuti, tentu akan membuat hak-hak pekerja menjadi lebih kecil lagi. Hal ini jelas akan merugikan pekerja, hak dan kewajiban yang dijalankanpun berpotensi tidak seimbang.

Namun penulis sendiri belum banyak mengetahui hak-hak yang hilang apa saja. Dari berbagai media yang konsisten menyebut hak yang hilang salah satunya adalah hak cuti kehamilan. Bila hak ini dihilangkan, tentu penulis tidak setuju, karena akan beresiko terhadap kesehatan dari para pekerja perempuan.

3. Pengubahan pesangon dari 32x gaji menjadi 25x gaji
Untuk point ini, justru penulis sepakat dengan kebijakan ini. Penulis setuju dikarenakan dampak baik yang akan diterima Indonesia secara makro.

Ketika Indonesia masih mewajibkan pesangon sebesar 32x gaji, hal ini tentu akan membuat banyak investor yang ingin membuka bisnis di Indonesia berpikir puluhan kali. Bayangkan. Untuk pekerja yang mendapatkan gaji sebutlah 3jt/bulan, ketika ia dipecat, maka perusahaan wajib membayar pesangonnya sebesar 96 juta, hal ini tentu sangat memberatkan. Dan untuk perusahaan-perusahaan yang belum masuk ke Indonesia, tentu ini menjadi momok menakutkan mengingat kualitas pekerja Indonesia juga yang masih belum sebaik negara lain. Maka bila kebijakan pesangon ini diubah, akan membuat peluang orang-orang ingin melakukan investasi di Indonesia lebih besar.

Di lain sisi, sebenarnya untuk pihak pekerja yang sudah bekerja tidak akan ada dampak. Mengutip dari unggahan DPR sendiri, sejauh ini hanya 7% pihak yang sudah memenuhi kewajiban membayar pesangon sebesar 32x gaji ini. Artinya, sebenarnya sejauh ini masyarakat juga jangan jarang, bahkan hamper semua yang pernah merasakan PHK tidak mendapatkan haknya untuk mendapat pesangon sesuai undang-udang. Dan ketika undang-undang merevisinya menjadi 25x gaji, tentu akan membuat peluang perusahaan yang akan membayar pesangon sesuai ketentuan meningkat, karena makin murah biaya pesangon, makin banyak pula perusahaan yang sanggup membayarnya.

4. Pengubahan dari UMR/UMK menjadi UMP
Untuk kebijakan ini, memang akan berdampak pahit dalam jangka waktu dekat. Karena untuk kota-kota besar dalam sebuah provinsi, pasti UMKnya sudah jauh lebih tinggi daripada kota-kota kecil di sekitarnya. Bila UMK diubah ke UMP, akan memaksa pendapatan kota-kota yang jauh lebih tinggi ini berkurang karena telah dipukul rata. Di lain sisi justru akan menguntungkan untuk kota-kota kecil di sekitarnya, karena mereka akan mendapatkan pendapatan yang lebih tinggi lagi dari sebelumnya.

Lalu apa baiknya untuk kondisi nasional? Perlu dipahami, salah satu permasalahan dari masalah ekonomi adalah adanya kesenjangan ekonomi. Kesenjangan ekonomi muncul akibat adanya perbedaan pendapatan yang terjaid secara terus-menerus dan besar. Maka bila hal ini diterapkan, aka menciptakan perataan ekonomi.

Lalu apakah akan menyengsarakan masyarakat kota? Biaya hidup di kota kan lebih besar? Jawabannya, ya untuk sementara waktu. Namun hanya sebentar, paling lama hanya dua sampai tiga bulan. Keseimbangan biaya hidup akan kembali lagi normal pada waktunya, kenapa? Hal ini karena dasar teori hukum ekonomi. Apabila daya beli masyarakat menurun, maka harga-harga komoditas yang ada di daerah tersebut pun akan ikut menurun, agar bisa dibeli oleh masyarakat. Bila tidak turun, justru para penyedia komoditas ini sendiri yang akan bangkrut karena tidak akan ada yang mampu membeli komoditas yang mereka produksi.

Sehingga sejauh ini, penulis tidak bisa memberikan komentar terhadap isi dari UU cipta kerja ini. Namun, yang akan menjadi sorotan permasalahan dari RUU cipta kerja ini lebih ke proses dalam merumuskan undang-undang ini. Untuk hal ini, akan penulis bahas di part 2.

(Bersambung part 2)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tilik & Cream, Ulasan Dua Film Pendek Menarik Dalam Negeri dan Mancanegara

Komunis Bukanlah Sama Rata & Sama Rasa (Meluruskan Asumsi Tentang Komunis)

Sudut Pandang Objektif