Saya bukan siapa-siapa

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Sebagai pembuka, sebelumnya saya ingin meminta maaf terlebih dahulu (selain untuk menambah kosa kata dalam tulisan) bahwa ini pertama kalinya saya menulis auto biografi yang ditunjukan dibaca oleh umum, sehingga pengalaman menulis tulisan ini akan sedikit aneh. Hal ini dikarenakan saya sendiri tidak tahu bagaimana cara menulis auto biografi dengan gaya artikel, opini, ataupun fiksi. Karena sejauh saya menulis auto biografi adalah untuk kebutuhan pendataan saja.

Perkenalkan, nama saya Fernando Pratama Romadhan. Saya lahir di Bandung pada 29 Januari 1998, pada dini hari tepat sebelum Idul Fitri. Saya merupakan anak pertama dari tiga bersaudara, yang mana jarak di antara masing-masing dari kami cukup berjauhan. Saya lahir di keluarga yang biasa-biasa saja, Ibu saya merupakan anak desa terpencil di Jawa Tengah yang merantau ke Bandung. Begitu juga dengan Bapak saya, ia lahir di salah satu desa di Sumatera yang juga merantau ke Bandung. Kakek dan Nenek dari kedua orang tua saya juga bukan siapa-siapa, bahkan bisa dikatakan orang-orang yang kekurangan, itulah sebabnya kedua orang tua saya merantau ke Bandung untuk mencari peruntungan.

Saya terlahir sebagai orang yang tidak pandai bergaul, saya sangat selektif dalam berteman. Itulah yang membuat saya tidak banyak dikenal anak-anak seusia saya di lingkungan rumah saya. Saya selektif dalam memilih teman karena saya mudah merasa lelah dan pusing jika mendengar anak-anak yang terlalu banyak berbicara, terlebih dengan anak-anak yang sok tahu, itu justru membuat saya jengkel dengan mereka, masa kanak-kanak saya sendiri hanya terdiri dari tiga orang teman, yang mana hanya satu yang masih berteman hingga sekarang.

Kondisi saya yang tidak punya banyak teman tersebut juga lebih terdukung dengan keputusan orang tua saya yang memasukan saya ke salah satu TK elite di daerah saya. Disana orang tua dari anak-anaknya merupakan orang-orang kaya yang berada, sedangkan orang tua saya sendiri keduanya hanya seorang pegawai, Bapak saya sebagai pegawai di Yudhistira, Ibu saya sebagai pegawai salon. Karena perbedaan “kasta” tersebut, secara alamiah membuat saya juga malas bergaul dengan kebanyakan dari mereka, beruntung ada anak di komplek rumah saya yang juga merupakan teman saya bersekolah di sana. Namun hal tersebut sebenarnya juga tidak terlalu membantu, karena sebenarnya teman saya tersebut juga merupakan orang berada, sehingga topik bahasan dia dengan anak-anak yang lainnya bisa lebih nyambung. Karena hal tersebut saya lebih suka melamun saat di kelas dan juga bermain puzzle saat waktu istirahat datang.

Untuk kegiatan, saya sendiri lebih menyukai kegiatan-kegiatan yang bersifat individual. Hal ini saya sadari karena saya lebih suka untuk bermain playstation sendiri atau maksimal berdua dengan teman saya. Jika ada teman lain yang ikut bermain playstation di rumah saya, saya lebih memilih duduk di belakang sambil menonton mereka bermain daripada harus terlibat kebisingan dengan mereka. Selain dari kecenderungan main, kegiatan-kegiatan yang saya sukai juga memang kegiatan individual. Saya suka berenang dan badminton, sehingga saya merasa passion saya ada di situ. Namun apa daya Ibu saya justru memasukan saya ke agensi model, yang pada akhirnya tetap saja tidak saya ikuti dengan benar dan akhirnya keluar.

Kehidupan saya benar-benar tidak memiliki sesuatu yang bisa dibanggakan, persis seperti judul tulisan ini, “saya bukan siapa-siapa”. Saya tidak mahir bergaul, saya juga bukan anak yang cerdas, namun satu yang saya pegang dalam hidup saya, saya ingin menjadi orang baik yang memegang teguh kebenaran. Yap, sejak kecil saya memang sudah memegang prinsip itu. Prinsip itu saya pegang melihat banyaknya kerusakan di sekitar saya, baik kerusakan di lingkungan anak-anak yang tidak pernah dipahami oleh orang dewasa, juga kerusakan orang dewasa yang saat itu masih banyak anak-anak belum pahami.

Saya melihat kebohongan, perundungan, dan juga sikap sok tahunya seseorang itu sebagai sebuah masalah dalam masyarakat. Dari kebohongan yang dilakukan teman-teman saya, terdapat imbas kerugian terhadap teman-temannya yang lain atau juga terhadap orang tuanya, dari perundungan menghasilkan kelompok anak-anak yang selalu berada dalam lingkarang setan dan tetap menjadi korban perundungan (yang dimana orang dewasa seringkali hanya memahami itu sebagai kenakalan anak-anak biasa), dari sikap sok tahunya seseorang yang pandai bicara, dia bisa mendapatkan kekuasaan berupa kepercayaan teman-temannya yang seringkali ia gunakan untuk melakukan perundungan dan fitnah terhadap anak lain. Ya, mungkin untuk kita orang dewasa melihat hal itu adalah kenakalan wajar kelompok anak-anak. Namun pengalaman kanak-kanak saya tahu, hal-hal tersebut bukan hal yang wajar, ditunjang dengan bukti bahwa anak-anak tersebut sekarang menjadi sosok yang rusak yang saya sebut “sampah masyarakat”.

Kehidupan minim teman saya ini berlanjut hingga ke masa SD. Sekolah Dasar saya ini juga orang tua saya pilihkan di kalangan orang-orang kaya, yang lagi-lagi membuat gap yang cukup jauh antara saya dengan anak-anak lain. Dan tak lama kemudian kejadian perundungan pun kembali terjadi, yang mirisnya pelaku perundungan ini dilakukan oleh guru saya sendiri. Peristiwa perundungan oleh guru ini beberapa kali saya alami di sekolah, mulai dari guru yang justru menyalahkan saya ketika saya laporkan ada anak lain yang mencontek kepada saya, diledek sebagai anak yang kampungan karena pada saat kelas 2 SD saya belum bisa mengetik sepuluh jari (yang disebabkan saya belum punya komputer sendiri saat itu), dan juga menjelek-jelekan sisi personal dan kondisi keluarga saya di depan kelas karena pertama kalinya saya datang telat pada saat pemantapan kelas 6 SD. Untungnya, perundungan-perundungan tersebut sudah biasa saya rasakan, karena saya tidak hanya dirundung oleh guru, melainkan juga oleh siswa dan orang tua siswa yang lainnya. Saya tidak mau mengadu pada orang tua saya, karena pernah mempunyai pengalaman ketika mengadu pada orang tua, justru perundungan yang lebih parah terjadi. Maka untuk meminimalisir kejadian yang tidak diinginkan, saya memilih bertahan sendiri.

Namun kondisi minim teman, tidak bergelimang harta, dan tidak pintar ternyata masih bisa membuat saya bisa mencapai beberapa pencapaian. Saya berhasil menjadi perwakilan sekolah untuk membawakan sebuah lagu pada acara pembukaan (yang saya lupa apa acaranya) bersama teman-teman paduan suara yang lain, saya juga berhasil menjuarai pertandingan Taekwondo kelas pra junior tingkat provinsi, saya juga bisa mendapatkan nilai ujian nasional dengan rata-rata sembilan koma yang bisa saya gunakan untuk melakukan senyum sinis atas kegagalan para anak-anak kaya di sekolah saya, dan berhasil masuk salah satu SMP terbaik di kota Bandung tanpa harus dibantu dengan sogokan uang orang tua.

Untuk genre pada tulisan saya ini, saya tidak tahu persis. Mungkin artikel? hehehe

#OneDayOnePost

#ODOP

#ODOPChallenge3

Komentar

  1. wow Fernando, saya cuma bilang .. sorry to hear that, kalau kamu sudah mendapatkan perundungan dari sewaktu kecil. Btw gpp ya, saya panggil nama, karena kamu hanya bbrp tahun lebih tua dari adik saya.

    Congratulations kamu ternyata anak yang cerdas, dan bisa masuk smp favorit pula.
    Sekarang kuliah dimana?
    TetaĆ¼ semangat ya

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tilik & Cream, Ulasan Dua Film Pendek Menarik Dalam Negeri dan Mancanegara

Komunis Bukanlah Sama Rata & Sama Rasa (Meluruskan Asumsi Tentang Komunis)

Sudut Pandang Objektif